JAKARTA (THE JAKARTA POST/ASIA NEWS NETWORK) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia menahan mantan komisioner Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rizal Djalil, atas dugaan suap terkait proyek sistem pengolahan air minum.
“Untuk tujuan penyelidikan, KPK menahan tersangka setidaknya selama 20 hari dari 3 Desember 2020 hingga 22 Desember 2020,” kata wakil ketua komisi Nurul Ghufron pada Kamis (3 Desember), seperti dikutip kompas.com.
Penangkapan itu menyusul penahanan oleh KPK pekan lalu terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Edhy Prabowo karena dugaan korupsi terkait dengan keputusan kementeriannya untuk mencabut larangan ekspor larva lobster. Dia ditangkap bersama dengan lebih dari selusin tersangka lainnya.
Rizal adalah salah satu tersangka yang ditahan dalam pengadaan proyek sistem pengolahan air minum (SPAM).
Proyek ini melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk tahun anggaran 2017-2018.
Rizal diduga menerima S $ 100.000 dari komisaris utama PT Minarta Dutahutama Leonardo Jusminarta Prasetyo, yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini dan juga telah ditahan.
PT Minarta Dutahutama menyerahkan proyek pemerintah diduga sebagai imbalan Leonardo berjanji untuk memberikan Rizal 1,3 miliar rupiah (S $ 122.000) dalam mata uang Singapura.
KPK pada September tahun lalu menyebut Rizal dan Leonardo sebagai tersangka dalam penyelidikannya. Komisi anti-korupsi telah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengeluarkan larangan perjalanan enam bulan untuk Rizal dan Leonardo saat penyelidikan dibuka pada 20 September.
KPK pada hari Kamis mengungkapkan apa yang diduga terjadi di balik layar.
Rizal diduga memanggil direktur SPAM ke kantornya dan mengatakan akan ada seseorang yang mewakilinya.
Perwakilan tersebut kemudian memberi tahu pejabat SPAM tentang niat Rizal untuk mengambil bagian dalam jaringan distribusi SPAM utama di Hongaria senilai 79,27 miliar rupiah.
Rizal dilaporkan memanggil direktur setelah lembaga auditnya menemukan penyimpangan senilai 18 miliar rupiah. Angka tersebut kemudian direvisi lebih rendah, menjadi 4,2 miliar rupiah, selama audit yang ditandatangani oleh Rizal pada Oktober 2016.